![]() |
Photo: Lucas Pezeta |
Beberapa hari terakhir, media ramai ceritain soal Rancangan Undang-Undang (RUU) Ketahanan Keluarga. Anak harus tidur misah dari orang tuanya lah, BDSM dilarang lah. Macem-macem pokoknya.
Gue sendiri jujur, belum liat draft-nya. Bahkan di website DPR aja nggak ada. Entah udah dihapus atau memang belum pernah di-upload. Makanya gue belum mau terlalu menyimpulkan karena baru tau dari pemberitaan media aja. Bisa jadi kalo RUU-nya dibaca menyeluruh, konteksnya bisa beda dengan yang ada di berita belakangan ini.
Dari beberapa sumber yang gue baca, emang sepintas agak ngaco sih. Gimana coba caranya negara misahin anak tidur sama orang tuanya? Apa nanti Polisi/Satpol PP masuk ke rumah-rumah dan ngecek satu-satu, dan mastiin supaya anak tidurnya misah sama orang tuanya?
Ada Masalah, Ada Solusi
Gue adalah tipe yang percaya kalo dibalik setiap keputusan Pemerintah, pasti ada niat baiknya. Seenggaknya, pasti ada masalah di masyarakat yang ingin diselesaikan.
Kalo ngeliat dari detik.com, ada beberapa isu yang pengen diselesaikan: incest, kekerasan, bullying, dan pencabulan.
Bagi gua, memang itu semua adalah masalah sosial dan sangat perlu di-address. Terus, apakah selanjutnya melarang anak sekamar sama orang tua, atau ngewajibin anak punya kamar sendiri misalnya, adalah solusi dari masalah-masalah itu?
Menurut gue sih, enggak.
Terus kalo ditanya, "ngapain sih negara ikut campur urusan kamar"? Bagi gue sepanjang memang ada masalah-masalah sosial tadi, negara berhak ikut campur.
Bukan dalam konteks kamarnya diatur-atur, tapi karena ada soal kekerasan dan pencabulan. Bahkan bukan cuma sekedar berhak, tapi perlu ikut campur.
Sebenernya daripada misahin kamar, banyak opsi solusi yang bisa diambil. Misal, negara menyediakan hotline bagi korban incest dan bullying yang reaktif, yang bisa langsung mengambil tindakan untuk si korban. Jadi nanti ada tindakan cepat misalnya korban dijemput dengan cara sedemikian rupa (menyamar misalnya), selanjutnya diamankan di tempat tertentu, direhabilitasi, sampai pulih mentalnya sambil si pelaku kejahatannya diproses hukum.*) Lembaga yang handle? Bisa Komnas HAM, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), atau Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Toh udah ada lembaganya, berarti tinggal dimanfaatkan aja kan?
*)Gue sendiri gak ngecek apa mekanisme yang kaya gitu udah ada atau belum. Kalo udah ada, berarti tinggal dikembangin dan dimaksimalin aja kan?
Itu baru salah satu contoh aja yang lebih masuk akal. Walaupun memang gak mudah juga. Tapi mudah atau nggaknya suatu peraturan bisa dieksekusi ya balik lagi dari substansinya (bisa diterapkan atau nggak), fasilitas pendukung, masyarakat yang diatur, dan dari pemerintah dan penegak hukumnya.
Kalo emang serius, ya bisa aja dilaksanakan. Dibanding harus misah-misahin kamar? Lantas gimana sama yang kamar tidurnya cuma 1? Gak mungkin juga tidur di teras. Itupun kalo rumahnya ada terasnya.
Dipaksa atau Diterima
RUU Ketahanan Keluarga sebenernya cuma 1 dari sekian banyak peraturan dan kebijakan yang kelihatannya sangat sulit diimplementasikan. Bukan cuma di Indonesia.
Why are we wasting time and effort to create a law that, even if you agree with it, will amount to no more than a symbolic gesture at best? #jakpost #commentary https://t.co/ZeeVV2XuGc— The Jakarta Post (@jakpost) February 23, 2020
Kalo kata orang, hukum mempunyai kekuatan memaksa. Tapi apa iya dengan demikian secara otomatis begitu undang-undang diketok palu, semua langsung bisa dilaksanakan? Nyatanya enggak demikian.
Kalo Soerjono Soekanto dan Mustafa Abdullah bilang, peraturan perundang-undangan (dalam hal ini produk hukum pemerintah) itu cuma bisa efektif dilaksanakan dengan bergantung pada 4 aspek: 1) substansinya bisa dijalanin; 2) pemerintah dan penegak hukumnya; 3) fasilitas; dan 4) masyarakatnya.
Keempatnya harus selaras kalo mau aturannya bisa jalan dengan efektif dan mencapai tujuannya.
Substansi peraturan harus dipikirin sedemikian rupa, supaya materi yang diatur bisa dieksekusi. Caranya ada 2: dipaksain oleh pemerintah/penegak hukum (with force), atau diterima dan dilaksanakan secara sukarela oleh masyarakat (voluntarily).
Nah sekarang pertanyaannya, misahin kamar anak sama orang tua itu, bisa dijalankan secara sukarela atau dengan paksaan? Gue yakin seandainya suatu keluarga emang bisa pisah kamar, pasti mereka udah pisah kamar dari awal.
Secara pribadi, bagi gue sebaik-baiknya aturan adalah yang substansinya bisa dijalanin secara sukarela tanpa ada paksaan. Paksaan harusnya menjadi pilihan terakhir kalo emang sangat dibutuhkan. Apalagi sanksi. Gak perlu lah dikit-dikit ngasih sanksi, apalagi sanksi pidana.
Lagian kalo berbicara kasus pencabulan ayah ke anaknya, lebih ke psikologis ayahnya cari cara buat bisa perkosa anaknya. Dasarnya udah bejat aja. Mau dipisah kamarpun akan tetap dicabulin juga anaknya. Disamping cucunya pun tetap dikerjain juga.
Sekarang pemerintah, kira-kira mungkin gak bisa maksa keluarga buat pisah kamar? Fasilitasnya gimana? Mungkin gak pemerintah nyediain hunian dengan kamar yang bisa pisah kamar antara anak sama orang tuanya?
Sort it Out!
RUU Ketahanan Keluarga ini memang jadi bahan becandaan di sekitar gua. Tapi kalo kita lihat reasoning-nya, menurut gue memang pemerintah perlu ngasih perhatian khusus. Apalagi kalo liat info dari Tirto, ternyata lebih dari 70% kekerasan terhadap anak terjadi di rumahnya sendiri. Artinya memang perlu ada tindakan tegas dari Pemerintah. Cuma gak gitu juga sih caranya.
Mungkin kalo media mainstream atau netizen umumnya pada mengkritisi abis pengusul RUU Ketahanan Keluarga, gue justru mau berterima kasih. Seenggaknya, ada juga wakil rakyat yang peduli soal isu-isu kemanusiaan. Ditengah padatnya pembahasan terkait Omnibus Law atau regulasi lain yang sifatnya lebih ke arah perekonomian.
Tapi plis, jangan disahkan dulu! Revisi dulu substansinya supaya lebih efektif, dan bisa mencapai tujuan baiknya.
Comments
Post a Comment