![]() |
Photo by Karolina Grabowska from Pexels |
Pernah dengar nama Aurelijus Rūtenis Antanas Mockus Šivickas?
Dia adalah seorang ahli matematika yang memiliki gelar master di bidang filsafat. Pria yang lebih dikenal dengan nama Antanas Mockus ini juga menerima gelar doktor honoris causa dari University of Paris. Kebetulan, ia juga seorang politisi yang pernah menjabat sebagai walikota Bogota pada tahun 1995-1996 dan 2001-2003. Ibukota Kolombia.
Ya, beliau adalah seorang tokoh berkebangsaan Kolombia. Negara yang populer dengan tokoh kenamaan seperti Shakira, Carlos Valderrama, James Rodriguez, dan Pablo Escobar.
Tetapi tidak seperti Escobar, seorang bos kartel narkoba yang membunuh hingga ribuan atau bahkan ratusan ribu nyawa antara tahun 1972 hingga 1993, Antanas Mockus justru adalah seorang yang sangat menghargai nyawa setiap orang. Ia adalah seorang humanis.
Sebelum ia menjabat sebagai walikota, Kolombia, tanpa terkecuali kota Bogota, merupakan negara yang identik dengan tingginya angka kriminalitas, lalu lintas yang amburadul, korupsi, dan berandalan-berandalan dibawah umur yang merampok dan bertindak vandalis.
Belum lagi maraknya aktivitas kejahatan terorganisir, ekstremisime paramiliter yang mengancam keselamatan nyawa warga sipil, dan kartel narkoba. Ketiga bentuk kejahatan ini saling memiliki korelasi dalam buruknya perlindungan keamanan masyarakat Kolombia.
Kematian dan Kehidupan
Meskipun pada tahun 1993, Escobar yang memimpin kartel Medellin telah tewas terbunuh, nyatanya aktivitas narkoba di Kolombia masih berlanjut dibawah kendali kartel Calli. Kelompok yang juga dikenal dengan sebutan The Gentlemen of Calli saat itu bisa dibilang sebagai kartel narkoba terbesar di dunia dengan mengambilalih produksi kokain dari kartel Medellin. Penonton seri Narcos tentunya paham betul soal ini.
Terpilihnya Mockus melalui jalur independen dengan gimmick humoris dan berlatar pendidikan eksakta menunjukkan adanya kepercayaan masyarakat Bogota kala itu. Walaupun secara profil, sepertinya ia bukanlah tipe personal yang cocok memimpin masyarakat Bogota yang plural. Seakan pengangkatan beliau tidak memenuhi aspek meritokrasi.
Nyatanya, dilantiknya pria yang memiliki darah Lithuania ini menjadi angin segar bagi warga Bogota. Latar belakang keilmuannya di bidang matematika dan filosofi, bukan di rumpun ilmu sosial misalnya kebijakan publik, ternyata malah menjadikan Bogota seakan diubah menjadi laboratorium uji coba bagi pria geek ini. Penduduk Bogota dijadikan kelinci percobaan untuk mewujudkan cita-citanya mengurangi angka kematian dengan kebijakan-kebijakan yang inovatif. Misalnya untuk mengurangi kematian akibat kecelakaan lalu lintas, ia memberi tanda bintang di lokasi TKP korban jiwa, sehingga orang yang melintasi tanda tersebut menjadi lebih hati-hati dalam berjalan. Ia juga menggunakan badut untuk mencemooh pengguna jalan raya yang tidak tertib menyeberang di zebra cross dan pengemudi ugal-ugalan yang menerobos lampu lalu lintas.
Hasilnya, selama ia menjabat terjadi penurunan angka kecelakaan lalu lintas di Bogota. Jika sebelumnya jumlah kecelakaan berada di rerata 1.300 per tahun, menjadi hanya 600 saja atau kurang dari setengahnya. Ia merubah perilaku membahayakan tersebut tidak sekedar dengan regulasi yang berbasis sanksi atau bersifat represif, tetapi secara halus mendorong masyarakat untuk lebih bertanggungjawab dalam bertindak. Ia menerapkan nudge yang dipopulerkan oleh buku karya Richard Thaler dan Cass Sunstein bahkan jauh sebelum buku itu diterbitkan.
Misi humanisnya dipraktekkan dengan metode-metode yang menarik. Kepeduliannya terhadap keselamatan warga Bogota diaplikasikan melalui berbagai kebijakan yang sifatnya out of the box. Mungkin karena faktor maju secara independen tanpa kepentingan politik transaksional dengan partai politik, membuatnya dapat berfokus mengelola Kolombia dengan pendekatan ilmiah dan keimuan. Terlebih dengan passion-nya dibidang akademik, ia menyebut Bogota sebagai "kelas yang lebih besar dengan saya bertindak selaku pengajar".
Kesuksesannya bahkan diakui oleh lembaga pendidikan sekelas Harvard. Dimana di tahun 2004 silam ia diundang mengisi kuliah di Harvard Kennedy School’s Institute of Politics tentang kedekatan masyarakat.
Sakral
Lantas mengapa Mockus begitu antusias dalam menyelamatkan nyawa?
Dalam satu kesempatan, Mockus menyebut bahwa "dalam suatu masyarakat dimana nyawa sudah kehilangan nilainya, tidak boleh ada tugas lain yang diprioritaskan daripada membangun kembali rasa hormat terhadap kehidupan dan nyawa sebagai hak dasar dan tugas masyarakat".
Pada kesempatan lain, ia juga mengatakan bahwa "tidak ada upaya yang sia-sia dalam menyelamatkan nyawa". Baginya, setiap nyawa memiliki nilai sakral yang sangat tinggi. Tidak main-main.
Jargon humanis yang dikampanyekan tidak hanya sebatas janji politik. Tetapi ia wujudkan secara nyata dengan outcome yang sangat memuaskan. Tidak heran ia sampai terpilih dua kali memimpin Bogota.
Sisi humanis Mockus sangat mencerahkan. Terlebih sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, banyak kematian akibat tingginya kriminalitas dan kecelakaan membuat nyawa masyarakat Kolombia seakan tidak ada harganya. Meskipun takut, masyarakat seakan sudah biasa-biasa saja jika ada yang tewas akibat kecelakaan atau dibunuh di keramaian. Apalagi di penghujung kedigdayaan Escobar, ia tidak sungkan untuk membunuh siapapun: mulai dari petinggi negara sekelas Menteri sekaligus calon Presiden (Rodrigo Lara), hingga anak-anak kecil yang tidak berdosa.
Kesakralan nyawa itulah yang membuat pemikirannya selama menjabat berorientasi menyelamatkan dan melindungi masyarakat Bogota. Seandainya ia masih menjabat di tengah pandemi covid-19 ini, pastinya penduduk Bogota akan sangat merasa terlindungi dari virus tersebut. Setidaknya mereka tahu bahwa mereka berada di tangan yang tepat.
Harga Diri
"Kamu tidak tahu apa yang kamu punya, sampai yang kamu punya telah hilang".
Pepatah populer yang diterjemahkan dari bahasa Inggris ini memang terkesan puitis dan cocok untuk dijadikan status facebook atau caption Instagram. Tetapi memang begitulah keadaannya. Kembali ke masalah nyawa, kita sendiri kadang tidak menghargai keluarga, teman, rekan kerja, atau siapapun sampai orang-orang itu hilang. Baik karena memang putus kontak atau tutup usia.
Ketika mereka telah tiada, baru kita merasa menyesal.
Begitu pula halnya di level kebijakan negara. Misalnya pada masa perang dunia kedua, Joseph Stalin memaksa warga dan tentara Uni Soviet yang sangat terbatas di pertempuran Stalingrad untuk terus berperang melawan armada udara Luftwaffe Nazi. Sampai-sampai perempuan juga ditugaskan untuk turun berperang dengan senjata-senjata api.
Alih-alih menyerah kepada Nazi untuk menyelamatkan nyawa warganya, Stalin malah mengancam akan menghukum keras warga yang tidak ikut berperang mempertahankan kota Stalingrad. Alhasil, lebih dari jutaan jiwa berkebangsaan Uni Soviet terbunuh, luka berat, atau hilang pada saat itu.
Nazi akhirnya merasa jumawa. Mereka berpikir telah sukses menaklukkan kota yang sekarang bernama Volgograd itu. Padahal, Stalin sudah memiliki rencana lain. Yaitu menyiapkan armada yang jumlahnya jauh lebih besar dan mematikan. Tentara Soviet juga memutus jalur logistik sehingga tentara Nazi menjadi kehabisan pangan hingga suplai amunisi. Dikepung di cuaca bersalju ekstrim, ditengah kelaparan, dan tanpa kekuatan amunisi untuk melawan, akhirnya keadaan berbalik.
Kali ini Nazi yang berada di ujung tanduk. Bedanya, pasukan Soviet menawarkan Nazi untuk menyerah. Tetapi sama seperti Stalin, Hitler memerintahkan mereka untuk terus berperang walaupun sudah pasti kalah. Sudah pasti tentara Nazi akan mati baik karena hujan peluru atau karena penyakit dan kelaparan.
Melihat Hitler tidak peduli nyawa anak buahnya, jenderal lapangan Nazi pada saat itu, Friedrich Paulus, memutuskan untuk menyerah kepada Soviet. Padahal, Hitler memerintahkan Paulus untuk bunuh diri daripada menyerah. Bagi Hitler, harga diri sebagai seorang Nazi meskipun telah gugur masih lebih tinggi daripada mati di tangan lawan. Walaupun bisa saja sebenarnya nyawa mereka diselamatkan.
Fenomena Stalin-Hitler dan Antanas Mockus memang menarik untuk dibahas. Artinya, ada tipe pemimpin yang sangat mementingkan nyawa. Tetapi ada juga yang tidak terlalu mempermasalahkan nyawa yang hilang. Mungkin dengan dalih pengorbanan sebagian orang demi kemenangan atau kepentingan yang lebih besar.
Memang disatu sisi, pimpinan negara terutama dikala perang dihadapkan dengan banyak pertimbangan sebelum memutuskan suatu hal, tidak hanya karena satu atau dua hal (causal reductionism).
Tetapi saya sendiri berkeyakinan bahwa tiap jiwa ada harganya. Tiap nyawa ada nilainya.
Nilai Statistik Nyawa
Dalam studi pengambilan kebijakan, nilai suatu nyawa sudah dapat divaluasi secara moneter dengan sebutan nilai statistik nyawa (Value of Statistical Life). Tujuannya adalah untuk menghitung aspek kematian atau nyawa dalam pengambilan keputusan (Kniesner & Viscusi, 2019).
Harapannya lainnya adalah agar bagi pengambil kebijakan yang tidak terlalu memikirkan harga suatu nyawa seperti Stalin-Hitler, mungkin mereka dapat berubah pikiran apabila jumlah korban jiwa disampaikan kepada mereka dalam konteks finansial.
Jika melihat potensi kerugian secara ekonomi, mungkin mereka tergerak untuk menyelamatkan nyawa tentaranya yang sebenarnya bisa saja diselamatkan kala itu. Dan mencari strategi lain untuk memenangkan perang tanpa harus menanggung banyak kerugian. Permasalahan yang selanjutnya dihadapi adalah, bagaimana merumuskan nilai daripada nyawa-nyawa itu dengan segala variabel perhitungannya.
Value Statistical Life ini seyogyanya juga sudah dapat dijadikan bahan pertimbangan para pemimpin dunia dalam mengambil kebijakan menghadapi covid-19. Jika harus memilih mana yang lebih penting antara ekonomi atau nyawa, mungkin akan lebih mudah apabila nilai dari tiap nyawa dapat diketahui harganya dengan kalkulasi dan valuasi yang tepat. Angka yang ditetapkan untuk tiap nyawa pun haruslah rasional.
Sebagai penutup, jadi kira-kira berapa harga nyawa kita?
Comments
Post a Comment