![]() |
Photo by Scott Webb |
Satu malam, saya dan istri hendak menuju ke Bekasi. Saya memutuskan naik salah satu transportasi online mengingat perjalanan akan panjang dan saya ingin istirahat sepanjang perjalanan. Sekitar jam 8 malam, akhirnya datanglah mobil yang sudah kami pesan.
Awalnya tidak ada masalah. Sang driver tidak terlalu banyak bicara, tapi
ia tidak diam juga. Sepertinya ia berusaha membiarkan saya untuk istirahat.
Setelah melewati gerbang tol dalam kota, saya mulai mencari posisi nyaman
supaya bisa pulas.
Kurang lebih 15 menit berlalu,
saya terbangun dari tidur saya. Rasanya perjalanannya kurang mengenakkan sampai
saya sulit untuk tidur lagi. Memang di tol menuju Bekasi, aspalnya masih banyak
naik-turun. Tapi bukan itu saja. Saya merasa ritme mengemudi driver ini agak aneh.
Ketika jalan di depan kami sangat
kosong, ia mengemudi dengan kecepatan yang agak konstan. Agak konstan disini
bukan berarti mobilnya melaju stabil di range
kecepatan yang sama. Tetapi saya merasa kadang ia menekan pedal gas agak
dalam, setelahnya ia melepas gas. Alih-alih mengemudi stabil di kecepatan 70
km/jam misalnya, saya merasa berkendara dengan kecepatan 65 km/jam, lalu turun
ke 60 km/jam. Lalu ia gas lagi sampai 65 km/jam lagi, lalu lepas gas lagi dan
turun ke 60 km/jam lagi. Dan ini berlanjut sampai akhir pintu tol. Saya merasa
ada yang aneh dengan Bapak driver ini.
Benar saja. Setelah saya
perhatikan gelagatnya dari belakang. Ia nampak mengangkat tangan kanannya ke
mukanya. Habis itu ia turunkan lagi. Lalu tangan kirinya dinaikkan, seperti
mengepal, lalu ia turunkan lagi tangannya. Ada juga gerakan-gerakan seperti
sedang stretching atau sekedar
melemaskan badan. Jelas hal ini membuat saya lumayan panik.
Semakin dekat ke tujuan, ia makin
menunjukkan keanehan. Ia seperti mengemudi dengan “blank” seakan tidak mengamati peta di aplikasinya. Sampai-sampai
kami harus terus mengarahkan ke kanan atau kiri. Ada juga momen dimana
seharusnya kami belok kiri, tapi ia malah lurus saja sampai-sampai kami dua
kali mengingatkan kalau dia harusnya siap-siap mengambil tikungan.
Saya merasa ia sedang kelelahan
atau ngantuk, walaupun tidak menutup kemungkinan ia mengemudi dalam kondisi mabuk. Kalau dilihat dari gejalanya, bahkan tidak
menutup kemungkinan ia sedang dalam pengaruh obat. Entah itu obat halal ataupun
obat haram.
Pengemudi Uzur
Sebenarnya, ini bukan pertama
kali saya mendapati pengemudi yang menunjukkan perilaku aneh. Sekitar tahun
2011, saya bersama rekan-rekan kuliah saya pernah menaiki taxi dari Senayan ke
arah Ragunan. Kebetulan, ada acara yang baru selesai sampai lumayan larut
malam. Sehingga kami sekitar 5-7 orang menaiki satu taxi tipe sedan. Awalnya,
saya berniat untuk menginap di rumah teman saya di daerah Ragunan tersebut.
Tidak lama kami di dalam taxi, supir taxi yang kami tumpangi menunjukkan gejala-gejala aneh dan sangat mengkhawatirkan. Sambil mengemudi, ia seperti menunjukkan gejala-gejala kejang dengan gerakan-gerakan mendadak. Ini jelas bukan ngantuk atau kecapean, tapi sepertinya ada kondisi medis yang serius. Karena takut menabrak atau kecelakaan, saya akhirnya tidak jadi ke rumah teman saya tersebut.
Saya turun
di daerah Mampang, dan naik taxi yang berbeda menuju rumah karena sudah malam
sekali. Dalam hati saya berkecamuk, semoga teman-teman saya tidak kenapa-kenapa,
tapi saya dalam hati bersyukur juga setidaknya saya sudah tidak disetiri oleh
bapak supir taxi tersebut.
Membahayakan
Horne & Reyner (1995) dalam
penelitiannya menyebut bahwa sekitar 20% kecelakaan lalu lintas di Inggris
diakibatkan oleh rasa kantuk (sleep-related accident). Sedangkan di Indonesia pada tahun 2019, saya ambil contoh ruas tol Cikopo-Palimanan (Cipali), 84,5% kecelakaan lalu lintas diakibatkan oleh faktor kelalahan.
Ya, delapan puluh empat koma lima
persen.
Kelelahan (fatigue) jangan
dianggap sepele. Bahkan orang yang terlihat segar-bugar pun bisa mengalami kelelahan
karena faktor kondisional. Misalnya karena terlalu banyak bekerja, jam perjalanan
yang terlalu lama, kurang istirahat, belum makan, dan sebagainya.
Saya sendiri pernah tertidur di
atas motor sepulang kantor. Tertidur kira-kira 2-3 detik saja, tahu-tahu saya hampir
nyusruk ke trotoar. Tidak sekali dua kali, saya pernah juga hampir menabrak
kendaraan lain dan menghajar semak-semak. Alhamdulillah, Allah SWT masih menyempatkan saya menyelamatkan diri.
Solusi yang saya lakukan untuk
menghindari ngantuk ketika mengemudi adalah dengan tidur sebelum
perjalanan, atau berhenti dulu di tengah jalan untuk power nap atau
senam otak sambal menghirup oksigen (dengan karbon monoksida pastinya).
Pengalaman saya naik kedua moda kendaraan umum tersebut memang menyeramkan dan berpotensi mencelakai diri saya pada saat itu.
Tapi sejujurnya, saya merasa iba kepada keduanya. Pasti faktor ekonomi menjadi
salah satu hal yang membuat mereka terpaksa untuk terus mencari penumpang
hingga larut malam.
Alasan finansial bukan
justifikasi, tapi memang nyaris tidak ada lagi pilihan lain yang bisa dilakukan
mereka-mereka ini untuk membiayai hidupnya. Apalagi bagi mayoritas masyarakat
+62, sudah tertanam pepatah “kerja keras tidak akan mengkhianati hasil”.
Sehingga mereka memaksakan diri bekerja sekeras-kerasnya. Walaupun kondisi
fisik dan psikis sudah memberi lampu kuning, mereka tetap bekerja sampai
melewati batas kewajaran. Menjemput maut demi urusan perut.
Pentingnya Kesadaran
Kalau dilihat sepintas tanpa dipikirkan dalam-dalam, mudah saja menyalahkan pengemudi-pengemudi yang kelelahan. Tapi ini bukan soal cari-cari kesalahan, tapi perkara kesadaran.
Kesadaran si pengemudi, kesadaran
si perusahaan transportasi, dan kesadaran si penumpang itu sendiri. Pada
prinsipnya, tidak ada satu masalah yang sumbernya benar-benar karena satu
penyebab saja. Fallacy of the single cause.
Pengemudi harus memperhatikan
kondisi fisik dan psikis dirinya. Apakah dia lelah? Bagaimanapun juga manusia
punya batas, dan ketika bekerja melewati batas itulah yang justru hasilnya
tidak semaksimal biasanya.
Bayangkan jika ia mengantuk atau
kelelahan, tapi tetap memaksakan diri untuk mengantar penumpang. Bukan hanya
nyawa dia sendiri yang jadi taruhan, tetapi nyawa penumpangnya pun demikian. Apalagi
kalau sampai menyasar pedestrian.
Bukannya dapat rezeki, malah
masuk bui. Niatnya mencari nafkah untuk keluarga, malah bikin mereka terbebani.
Penumpang juga sama. Harus
menyadari bahwa driver bisa jadi
sedang kelelahan. Memang tidak terlalu banyak yang bisa dilakukan, tetapi
setidaknya masih ada satu dua inisiatif yang bisa dilaksanakan.
Misalnya yang pertama,
mengingatkan pengemudi untuk berhati-hati dan tidak mengantuk. Kedua, mengajak
bicara supaya setidaknya suasananya tidak sunyi dan mendukung untuk mengejapkan
mata. Ketiga, mungkin aneh, tapi jika memang setidaknya pengemudi terlihat
letih, ajak untuk istirahat sejenak. Melipir sedikit untuk membeli kopi di
warung atau mini market terdekat. Posisikan
mereka sebagai manusia yang juga memerlukan istirahat.
Anggaplah driver-driver ini
saudara atau diri kita sendiri yang menyetir, yang kalau lelah, biasanya kita
istirahat sejenak. Anjurkan untuk istirahat sekitar 10 s.d. 15 menit untuk
tidur sesaat. Walaupun perjalanan kita menjadi terlambat, setidaknya kita bisa
selamat.
Memang hal yang saya sebutkan
diatas tidak mudah dan tidak lumrah, apalagi jika sudah di jalan tol yang kalau
berhenti harus di rest area. Tapi
yang perlu diingat, memaksa untuk terus jalan ditengah kondisi meragukan,
taruhannya ya nyawa kita sendiri. Bukannya sampai ke tujuan, malah ke kuburan.
Penyedia layanan transportasi juga demikian. Perusahaan taxi, bus, ojek, atau transportasi online lainnya, harus mengutamakan keselamatan. Tidak hanya transportasi darat, pilot pesawat udara atau nahkoda kapal laut kalau sampai lelah juga sama
bahayanya.
Terakhir, kesadaran pemerintah selaku regulator dan administrator. Harus benar-benar menyiapkan regulasi yang berbasis evaluasi atas data dan fakta di lapangan. Jangan sekedar membuat peraturan dan kebijakan yang berdasar asumsi. Tapi harus melihat betul faktor-faktor penting agar kecelakaan dapat dimitigasi.
Demi Keselamatan
Saya paham perusahaan apapun dan
dimanapun pasti berorientasi keuntungan. Termasuk perusahaan penyedia kendaraan umum.
Beberapa perusahaan taxi, bus, dan angkutan
lainnya biasanya menargetkan setoran. Sehingga mau tidak mau dalam sehari
nominal setorannya harus tercapai oleh si supir. Padahal bisa saja dalam satu
waktu mereka sepi pelanggan. Pola setoran ini memang harus diubah dengan model penggajian tetap bulanan yang sudah diterapkan di beberapa moda transportasi.
Untuk driver transportasi online.
Banyak rekan-rekan driver
mengejar jumlah perjalanan tertentu supaya dapat sekian bonus. Bonus inilah
yang memang menjadi salah satu trigger mereka untuk tetap beroperasi
hingga larut malam.
Bagi penyedia aplikasi, mungkin perlu mendesain aplikasi dengan sistem kerja yang mengingatkan, atau bahkan mengharuskan sekian waktu bagi si driver untuk beristirahat. Pastikan betul-betul agar si driver mendapat waktu istirahat yang cukup dan tidak dapat mengangkut penumpang.
Walaupun hubungan kerja antara perusahaan dan pengemudi namanya mitra, tapi sebenarnya kedudukan perusahaan transportasi dalam
praktek, tetaplah lebih tinggi. Tidak setara. Artinya, perusahaanlah yang lebih
memiliki kuasa untuk menentukan arah atau model proses bisnisnya.
Kalau ini diterapkan, saya yakin,
driver-driver akan berteriak tidak
setuju ketika aplikasi mereka tidak bisa menarik penumpang karena mesti
istirahat. Tapi apalah artinya satu-dua trip kalau yang dipertaruhkan
adalah keselamatan orang-orang? Apalagi kalau sampai mencelakai orang di jalan
yang tidak ada urusan.
Angka 84,5% kecelakaan di Cipali ini benar-benar harus diturunkan. Tentunya, tidak bisa mengharapkan salah satu pihak saja yang bertransformasi. Intinya, kesadaran di semua lini memang
mutlak diperlukan. Istirahat yang cukup tetap perlu diutamakan. Karena
lagi-lagi, prioritas jasa transportasi adalah keselamatan sampai tujuan.
Comments
Post a Comment