Jadi ceritanya, salah seorang senior jenius FHUI yang sangat gue kagumi, menulis artikel di selasar.com mengenai polemik terkait Isu ISIS. Tulisannya bagus dan gue rekomendasikan kalian semua buat baca di link ini. Namun demikian ada juga poin-poin dimana, gue merasa, ada yang ingin gue tanggapi. Murni tanggapan bukan koreksi apalagi bantahan. Kalau emang ada yang terkesan mengoreksi atau membantah, bisa jadi karena memang gaya bahasa gue yang kurang bagus aja he he.
Intinya adalah, tanggapan gue emang cukup panjang sampe tanpa sadar ternyata sampe lebih dari 5 paragraf. With that in mind, gue berfikir sekalian aja gue masukin di blog gue. Daripada sepi postingan ya kan hehehe. So here's my response to the respected man:
A very good piece bang, dan bisa dikatakan secara logika apa yg abang sampein disini itu benar dan saya setuju.
Tapi ada beberapa hal yang saya ingin saya tanggapi, bukan koreksi, pada tulisan abang. Karena walaupun saya juga merupakan salah satu dari sekian orang yang lumayan cetek dari segi ilmu (bukan sarkasme, karena saya merasa memang ilmu saya masih dikit sekali apalagi urusan agama), terdapat beberapa hal yang membuat saya bisa mengerti kenapa banyak orang yang marah, emosi, dsb ketika agamanya dijelekkan sekecil apapun.
Menurut saya, bagi sebagian orang itu, agama lebih ke arah rasa dan karsa. Rasa dan karsa inilah yang kadang mendorong banyak pemeluk agama untuk menjadi marah dan diluar kendali. Padahal secara logika, dan apabila dalam situasi netral, mungkin mereka mengetahui bahwa apa yang mereka lakukan adalah salah atau gak penting. Sebagaimana pernah saya alami beberapa waktu lalu.
Menurut saya, bagi sebagian orang itu, agama lebih ke arah rasa dan karsa. Rasa dan karsa inilah yang kadang mendorong banyak pemeluk agama untuk menjadi marah dan diluar kendali. Padahal secara logika, dan apabila dalam situasi netral, mungkin mereka mengetahui bahwa apa yang mereka lakukan adalah salah atau gak penting. Sebagaimana pernah saya alami beberapa waktu lalu.
Saya menganalogikan segala emosionalitas terhadap agama banyak yang bersumber pada kecintaan mereka pada agama yang tidak bisa diukur.
Apakah saya mencintai Islam lebih baik daripada orang lain? Parameternya apa? Apakah dengan beribadah lebih sering, saya lebih mencintai Islam dibandingkan orang yang lebih jarang beribadah?
Menurut saya ini adalah kajian tak berujung dan cenderung rhetoris. Tetapi inilah yang membuat saya berfikir bahwa reaksi emosional terhadap penghujatan agama adalah sebuah reaksi yang somehow reasonable. Namun disaat yang sama, saya juga bisa bilang bahwa reaksi tersebut adalah kurang tepat.
Sebagai contoh, saya menganalogikan apabila seorang ibu melihat anaknya dipukul kawannya sampai terluka, ibu tersebut pasti marah dan sedih melihat kondisi anaknya. Ada ibu yang secara spontan akan menghampiri kawan anaknya tersebut, lalu ada yang memarahi, ada yang sekedar menasehati, atau melakukan tindakan balas dendam lain yang didasari amarahnya, bahkan ada yang hingga memukul anak orang lain. Apakah tindakan tersebut benar? Jelas tidak. Apakah reasonable? Menurut saya iya. Lalu bagaimana dengan Ibu lain yang tidak membalas kawan anaknya tersebut? Apakah bisa dipersalahkan atau beliau dianggap tidak sayang anaknya? Tentu tidak.
Mungkin ia tidak membalas karena ia menggunakan logikanya baik-baik dengan tenang. Intinya memang tiap orang memiliki reaksi yang berbeda-beda. Ada yang reaksinya dapat dikontrol dengan logikanya, adapula yang tidak. Bahkan apabila reaksi tersebut adalah tindak pidana yang tidak wajar akibat adanya goncangan jiwa, sehingga ia tidak dapat menggunakan logikanya, reaksi tersebut juga bisa menghapus tindak pidananya yang diatur dalam Pasal 49 ayat (2) KUHP. Tentu abang sendiri lebih paham mengenai konsep Temporary Insanity yang dipakai di US Court.
Apakah saya mencintai Islam lebih baik daripada orang lain? Parameternya apa? Apakah dengan beribadah lebih sering, saya lebih mencintai Islam dibandingkan orang yang lebih jarang beribadah?
Menurut saya ini adalah kajian tak berujung dan cenderung rhetoris. Tetapi inilah yang membuat saya berfikir bahwa reaksi emosional terhadap penghujatan agama adalah sebuah reaksi yang somehow reasonable. Namun disaat yang sama, saya juga bisa bilang bahwa reaksi tersebut adalah kurang tepat.
Sebagai contoh, saya menganalogikan apabila seorang ibu melihat anaknya dipukul kawannya sampai terluka, ibu tersebut pasti marah dan sedih melihat kondisi anaknya. Ada ibu yang secara spontan akan menghampiri kawan anaknya tersebut, lalu ada yang memarahi, ada yang sekedar menasehati, atau melakukan tindakan balas dendam lain yang didasari amarahnya, bahkan ada yang hingga memukul anak orang lain. Apakah tindakan tersebut benar? Jelas tidak. Apakah reasonable? Menurut saya iya. Lalu bagaimana dengan Ibu lain yang tidak membalas kawan anaknya tersebut? Apakah bisa dipersalahkan atau beliau dianggap tidak sayang anaknya? Tentu tidak.
Mungkin ia tidak membalas karena ia menggunakan logikanya baik-baik dengan tenang. Intinya memang tiap orang memiliki reaksi yang berbeda-beda. Ada yang reaksinya dapat dikontrol dengan logikanya, adapula yang tidak. Bahkan apabila reaksi tersebut adalah tindak pidana yang tidak wajar akibat adanya goncangan jiwa, sehingga ia tidak dapat menggunakan logikanya, reaksi tersebut juga bisa menghapus tindak pidananya yang diatur dalam Pasal 49 ayat (2) KUHP. Tentu abang sendiri lebih paham mengenai konsep Temporary Insanity yang dipakai di US Court.
Pendapat saya ini bukan sekedar hasil kontemplasi atau reaksi emosi, bang. Sekali lagi saya mengakui bahwa apa yang abang sampaikan disini adalah benar, tapi saya mengakui bahwa ada suatu pembenaran atas reaksi orang-orang yang selama ini kita anggap sebagai orang yang "lebay".
FPI lebay. FUI lebay. Forum yang mengatasnamakan agama lainnya adalah lebay.
Setidaknya itu dulu pandangan saya terhadap mereka, walaupun mereka juga berbicara mengenai Umat Islam ditindas di negara lain, bahkan di negara sendiri Islam didiskriminasikan seperti di Bali, saya tidak terlalu peduli. Sampai pada suatu hari dimana saya menemukan orang yang menghina Islam dalam bentuk generalisasi Islam sebagai agama yang biadab, saya pun secara reaktif berusaha untuk defensif dengan pernyataan klise "gak semua orang Islam itu teroris" dan bla bla bla.
Tapi apa yang saya dapat?
Saya justru malah diserang oleh ratusan atau mungkin ribuan orang yang menjelek-jelekkan Islam mulai dari mereka yang menjelek-jelekkan Allah SWT, Rasulullah SAW, hingga Al-Quran. Memang harusnya saya bisa mengendalikan emosi saya. Tapi yang ada justru malah saya melakukan twitwar yang luar biasa menyita waktu dan mungkin tidak penting karena mereka dan saya tidak akan dapat menyatukan argumen atau berusaha menemukan titik temu.
FPI lebay. FUI lebay. Forum yang mengatasnamakan agama lainnya adalah lebay.
Setidaknya itu dulu pandangan saya terhadap mereka, walaupun mereka juga berbicara mengenai Umat Islam ditindas di negara lain, bahkan di negara sendiri Islam didiskriminasikan seperti di Bali, saya tidak terlalu peduli. Sampai pada suatu hari dimana saya menemukan orang yang menghina Islam dalam bentuk generalisasi Islam sebagai agama yang biadab, saya pun secara reaktif berusaha untuk defensif dengan pernyataan klise "gak semua orang Islam itu teroris" dan bla bla bla.
Tapi apa yang saya dapat?
Saya justru malah diserang oleh ratusan atau mungkin ribuan orang yang menjelek-jelekkan Islam mulai dari mereka yang menjelek-jelekkan Allah SWT, Rasulullah SAW, hingga Al-Quran. Memang harusnya saya bisa mengendalikan emosi saya. Tapi yang ada justru malah saya melakukan twitwar yang luar biasa menyita waktu dan mungkin tidak penting karena mereka dan saya tidak akan dapat menyatukan argumen atau berusaha menemukan titik temu.
Jika abang tidak percaya, abang boleh mengecek mention untuk saya yang terdapat komentar dari @RIchardDawkins dan @DannyBarbera. Atau liat tanggapan orang-orang yang menjelekkan Islam pada tweet ini:
@fahrurozi @LKrauss1 @RichardDawkins I proved it. Here's a quote you can read. pic.twitter.com/mgDxuLcEwA
— youguysRbitches (@Danny_Barbera) September 9, 2014
Parameter penistaan agama memang absurd. Tapi disitu saya bisa memastikan bahwa dalam benak saya, terdapat reaksi amarah yang luar biasa besar, yang membuat saya sangat uring-uringan dan rasanya panas sekali hati saya sampai saya melempar barang-barang di kamar dan menonjok tangan saya ke tembok. Wajar? Tidak. Benar? Rasanya juga tidak. Logis? Tidak juga. Tapi apakah hal tersebut adalah hal yang reasonable mengingat hal itu adalah reaksi yang spontan dan luapan emosi tersebut tidak pernah saya rasakan sebelumnya? Menurut saya, iya bang. Hanya saja cara saya salah.
Sekali lagi bang, saya setuju dengan tulisan abang. Yang saya sampaikan disini hanyalah bentuk pendapat saya bahwa, terlepas dari benar atau salah, atau secara nalar, saya merasa bahwa reaksi emosi atas penghinaan agama itu adalah hal yang bersumber dari rasa dan karsa. Sebagaimana kecintaan kita pada keluarga atau sesuatu lainnya, yang kadang tidak bisa dicerna dengan logika, adalah reasonable.
Salam hormat,
Comments
Post a Comment