Jadi PNS: Sebuah Miskonsepsi

Pagi ini, 12 April 2014 di timeline twitter gua, @fahrurozi, ada tweet seseorang yang di-retweet oleh seorang tokoh yang gua follow. Jika dinarasikan dan dibentuk dalam sebuah cerita sangat pendek, kira-kira pesan yang bisa diambil kaya gini:
x: "mau kerja apa lo?"
y: "PNS"
x: "kenapa mau jadi PNS?"
y: "pengen ngebanggain orang tua"

Ada yang salah disana. Ada miskonsepsi fundamental yang menjadi stereotype mayoritas penduduk Indonesia, dari kalangan ekonomi manapun. Yang salah bukan soal jadi PNS, apalagi pengen ngebanggain orang tua. Menurut gua, sebenernya niat bikin orang tua bangga adalah sesuatu yang sangat istimewa.

Kalo kita gunakan silogisme berbahasa, maka analogi yang tepat dari cerita pendek diatas jadinya adalah "kerja jadi PNS itu ngebanggain orang tua". 

Kenapa bisa ngebanggain orang tua? Apakah: a) itu cita-cita orang tua untuk anaknya jadi PNS meskipun nggak sukses atau jatuh miskin atau malah terlibat kasus korupsi? Atau b) lingkungan dari si orang tua yang membuat PNS terlihat membanggakan?

Kalo dalam jawaban yang a), rasanya ngaco kalo ada pemikiran orang tua kaya gitu. Jadi PNS itu, gimanapun orang bilang aman, nyaman, dan susah buat dipecat, sesungguhnya penuh resiko. Resiko ini salah satunya muncul dari jumlah kebutuhan yang pas-pasan dengan jumlah pemasukan. Bukannya gua berfikir bahwa gaji PNS kecil, tapi kebutuhan tiap daerah berbeda dan income PNS pun bisa berbeda-beda. Misal: Kementerian X gaji bersihnya lebih kecil dari Kementerian Y karena urusan Kementerian X yang lebih layak mendapat gaji lebih besar. Atau di Kementerian X, gajinya katakanlah 3 juta perbulan di seluruh Indonesia. Nah selanjutnya apakah 3 juta itu sudah cukup buat kebutuhan hidup di Jakarta?  Apakah 3 juta udah cukup buat hidup di daerah pelosok yang BBM aja harganya bisa mencapai 30 - 50 ribu per liter dan pasokan BBM sering kosong? Atau daerah yang harga makan nasi campur di warteg bisa sekitar 50 ribu untuk porsi yang sama di Jakarta bisa dibayar cuma dengan 15 ribu aja?

Sebagaimana yang udah gua jelasin diatas bahwa jadi PNS itu penuh resiko. Soal income kecil yang kelihatannya sepele justru malah membuat banyak PNS tercekik dari aspek finansial dibanding swasta.

Memang ada PNS tertentu yang udah dasarnya tajir dari keturunan atau punya usaha lain, atau yang udah menduduki jabatan tinggi sehingga mereka udah gak terlalu pusing soal income karena tercukupi. Lalu gimana dengan PNS yang keuangannya pas-pasan yang a) korupsi, dan b) bersih? Dua-duanya sama-sama nanggung resiko. Kalo yang korupsi demi kebutuhan hidup dan keluarganya, dia beresiko kena sanksi administrasi dan pidana bahkan. Kalo yang bersih apa resikonya? Yah, paling anaknya kelaparan, gak bisa sekolah, atau penyakitan karena uangnya gak cukup. Ngeri gak sih?

Ketidaktahuan Menjadi Kebanggaan

Hal sepele kaya gitulah yang masyarakat Indonesia kurang paham. Di mata sebagian besar orang, jadi PNS itu adalah kebanggaan. Kerjanya santai, udah pasti dapat pensiun, susah dipecat, dapet askes, dan sebagainya.

Mungkin juga karena di mata mereka PNS adalah selalu pejabat yang sukses secara materil padahal di kantor mereka pontang-panting mpot-mpotan. Kalo gua bilang ada PNS yang kerjanya sampe pagi, bahkan pada saat pergantian tahun baru 2014 kemaren masuk kantor, mungkin banyak yang gak percaya. Belum lagi dengan kesulitan lain yang nggak kelihatan dari luar. 

Pandangan mayoritas orang Indonesia masih memang mendewakan PNS. Seakan-akan jadi PNS itu pekerjaan yang membanggakan dengan segala fasilitas dan kesantaian hidup. Belum lagi dengan tanggung jawab yang sebenernya sangat besar dibandingkan dengan sektor swasta.

Coba lo pernah bayangin gak, kalo ada (mungkin banyak malah) PNS yang kerjanya berurusan sama penjahat dan sampe keluarganya yang gak tau apa-apa ikut diancem. Gua gak bicara polisi atau TNI disini. Gua bicara PNS.

Tapi sebagian besar orang yang baca ini mungkin mikir: "ah masa sih?" dengan wajah skeptis karena hal kaya kaya gitu bukan apa yang mereka tahu soal being PNS. Karena mereka gak tahu, mereka berpikiran yang oke-oke doang dari PNS. Lalu ketika PNS kerjanya gak bener, mereka mengkritik abis-abisan karena di pikiran sebagian besar orang "udah enak jadi PNS, kerja masih aja gak bener". Enak?

Ironi inilah yang bikin PNS, di mata publik sering dijelek-jelekin tapi ketika ada pembukaan lowongan PNS, pendaftarnya tetap terbanyak. Karena mereka nggak tau hal yang gua ceritain diatas, jadinya mereka berbondong-bondong berusaha untuk masuk PNS atau menyuruh anaknya untuk masuk PNS. Karena bagi mereka PNS adalah kebanggaan.  

Tujuan, Proses, Hasil

Gua nggak merasa bangga jadi PNS, tapi juga nggak malu jadi PNS. Kenapa nggak bangga? Ya gua merasa belum melakukan sesuatu yang bisa bikin gua bangga dengan tanggungjawab profesi gua sebagai PNS. Mungkin bagi orang lain, jadi PNS aja udah kebanggaan. Disitulah miskonsepsi fundamental terbentuk. Orang lebih peduli pada status daripada prestasi.

Sebagai contoh, gua flashback dan ngeliat diri gue sendiri di masa lalu sewaktu gua masih kerja di kampus sebagai asisten dosen. Status gua (asisten dosen) saat itu nggaklah bikin gua merasa bangga dan senang. Tapi ketika gua dikasih kesempatan untuk ngajar dan bisa ngasih ilmu ke mahasiswa yang belum ngerti materi, lalu jadi ngerti karena udah gua jelasin, disitulah gua baru merasa bangga dan senang bukan main.

Gua merasa bangga karena gua merasa bermanfaat. Bukan merasa bangga karena status gua asisten dosen.

Jadi, PNS gak membanggakan dong? Salah.

Di mata gua, jadi PNS itu hanyalah status. Kebanggaan itu dinilai dari tujuan jadi PNS apa, prosesnya untuk mencapai tujuan jadi PNS apa, dan hasilnya apa. Jadi PNS itu, kalo emang tujuannya misalkan membawa kebaikan dan perubahan bagi negara ini, menurut gua udah sangat nobel. 

Lalu gimana prosesnya?

Kalo prosesnya dijalankan dengan efektif, lebih mantep lagi. Lebih oke lagi kalo hasilnya jelas terasa dan bermanfaat. Seandainya gua bisa memberikan suatu ide X yang bermanfaat untuk rakyat Indonesia dan gua bisa mewujudkannya, baru deh gua akan bangga. Bukan karena status gua. 

Kaya salah seorang peserta tes masuk TNI AL yang kebetulan ketemu dan ngobrol sama gua dan gua sempet nanya: "Kenapa mau jadi ABRI mas?" dan dia jawab dengan intonasi yang serius: "Saya kesel mas sama Malaysia yang ngerebut pulau kita terus, saya mau ikut terlibat menjaga perbatasan mas". Itu nobel. Brilian. Semoga beliau saat ini diterima di TNI AL dan bisa menjaga daerah perbatasan kita dengan hasil yang memuaskan bagi Indonesia sesuai dengan tujuannya bergabung dengan TNI AL.

Sebenernya problematika soal tujuan, proses, dan hasil ini berlaku untuk semua jenis profesi. Bukan PNS doang. Kalo di almamater gua, ada semacam stigma yang beredar kalo misalnya lo anak FHUI tapi lo nggak lawyering, maka lo bisa dipandang sebelah mata lah. Kenyataannya, banyak yang justru malah terjerumus (dan gua salah satunya) memaksakan diri untuk bergabung dengan lawfirm karena mengincar statusnya sebagai lawyer. Lalu tiba-tiba mereka resah karena merasa ini-itu, gak cocok, gak betah, gak passion dan segala-galanya terlepas dari cocok-cocokkan lingkungan kerja. Karena status lawyer yang notabene keren itulah mereka jadi lawyer, bukan karena tujuan, proses dan hasil sebagai lawyer itu sendiriKembali kaya anak SMA yang cuma modal ikut-ikutan dan kebawa arus tanpa prinsip yang jelas. 

Meskipun gua cuma 1 dari ratusan juta penduduk Indonesia, gua akan terus berusaha untuk mencapai tujuan gua untuk merubah stereotype ketidaktahuan yang menjadi kebanggaan, berubah menjadi pengetahuan. Kebanggaan akan status berubah menjadi kebanggaan akan tujuan, proses, dan hasil yang dicapai.

Jadi PNS, lawyer, dosen, guru, dokter, insinyur, dll. profesi apapun yang bergengsi, gak seharusnya dipandang keren sepanjang yang dikerjain nggak atau belumlah keren. Tapi apapun statuslo, kalau emang yang lo kerjakan itu tujuan, proses, dan hasilnya keren, maka lo berhak untuk bangga.



Comments