Sepakbola profesional, setidaknya menurut FIFA, adalah
olahraga yang berdiri secara independen yang harus bebas dari campur tangan
Pemerintah setempat. Ironisnya, penyelenggaraan ajang Sepakbola terbesar yaitu
Piala Dunia, selalu melibatkan petinggi dan pejabat negara. Kita masih ingat
betul di Indonesia ketika Jusuf Kalla, yang merupakan Wakil Presiden saat itu,
mencetuskan niatnya untuk menyelenggarakan Piala Dunia 2018 atau 2022 untuk
dilangsungkan di Indonesia.
Independen dalam maksud FIFA mungkin punya konotasi lain.
Karena apabila kita melihat konteks administratif, tidak jarang kita melihat
klub sepakbola didukung secara finansial oleh Pemerintah lokal. Klub selevel
Real Madrid dan Barcelona pun masih mendapat sokongan dana dari Pemerintah
Daerah masing-masing yang dikemas dalam bentuk bantuan sosial dan sejenis.
Dalam hal ini, mereka beranggapan bahwa pemberian bantuan finansial tersebut
adalah hal yang lain dalam independensi, karena mereka berasumsi bahwa
independensi dalam Sepakbola lebih ke arah kepengurusan dan penentuan
kebijakan. Meskipun menerima uang dari Pemerintah, klub tidak bertanggungjawab
terhadap Pemerintah setempat dan Pemerintah tidak berhak melakukan intervensi
terhadap aktivitas klub. Situasi yang sama juga (pernah) terjadi di Indonesia,
yang mana PSSI, sebagai otoritas tertinggi sepakbola di Indonesia, mendapat
milyaran dana dari APBN namun mereka menolak Pemerintah campur tangan ketika
terjadi konflik internal yang berlarut-larut. Warga Indonesia pun bergejolak
kala itu.
Independensi memang harus ditegakkan untuk menghindari
adanya campur tangan Pemerintah (baca: politisi) dalam keindahan permainan
sepakbola. Tengok sejenak Pemerintah Korea Utara yang begitu dominan dan turut
campur bahkan melarang pemainnya menggunakan sepatu buatan Amerika Serikat,
Eropa, dan koloninya pada perhelatan Piala Dunia 2010. Semakin ironis ketika
FIFA membiarkan mereka tetap terlibat dalam ajang Piala Dunia meskipun FIFA
memiliki otoritas untuk mencoret kesertaan mereka dalam Piala Dunia.
Disinilah permasalahan sebenarnya muncul. Sepakbola,
seindependen apapun tetaplah tidak bisa menghiraukan fakta bahwa terdapat
beragam permasalahan yang tidak bisa membuatnya berdiri secara independen
dengan mutlak. Keterlibatan Pemerintah adalah diperlukan karena sebagai suatu
aktifitas masif dalam suatu negara, pelaksanaan sepakbola baik secara
konseptual maupun teknis tetap harus mendapatkan otorisasi dari Negara. Contoh
sederhananya, tidak semua klub sepakbola mampu membangun stadion berkapasitas
70.000+ sebagaimana yang dilakukan Manchester United dan disinilah salah satu
argumen dimana peran negara diperlukan. Namun, keterlibatan Pemerintah apalagi
politikus adalah hal yang sangat tendensius pada penyimpangan. Misalnya pada
persoalan hak siar, tidak hanya di Indonesia penayangan acara sepakbola
dipolitisir sebagai ajang iklan para (calon) pejabat negara. Meskipun memang
peran negara diperlukan, kecenderungannya akan selalu menjadi bias dan negatif.
Sulit untuk bisa
membayangkan situasi ideal, dimana negara terlibat dalam membantu
penyelenggaraan sepakbola namun tidak berusaha mempolitisir sehingga
independensi tetap terjaga. Atau dalam pernyataan yang lebih jelas, pelaksanaan
sepakbola yang independen untuk bisa berjalan berdampingan dengan keterlibatan
negara namun tidak ditempeli dengan adanya intervensi, adalah utopis.
Comments
Post a Comment